Rabu, 30 Desember 2015

Tafsir dan Hadist Hutang Piutang

MAKALAH TAFSIR DAN HADIST EKONOMI
TAFSIR DAN HADIST HUTANG PIUTANG


Dosen : Fajar Fandi Atmaja, Lc., M.S.I
Disusun Oleh:
Nur Aufa Amalina                 (13423140)
Mau’izhotul Hasanah            (13423114)
Dita Alisha Putri                     (13423127)
Siti Rohmah Rigawati            (13423123)








Program Studi Ekonomi Islam
Fakultas Ilmu Agama Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2015





               Puji syukur saya panjatkan kepada  Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas nikmat dan karunianya yang telah diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tafsir dan Hadist dalam Ekonomi yang berjudul Tafsir dan Hadist tentang Hutang Piutang. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada suri tauladan bagi umat manusia  yakni nabi Muhamad SWT yang mana sesosok manusia sempurna yang telah memperjuangkan agama Islam sehingga sampai sejaya ini. Dan tak lupa saya berterima kasih kepada dosen pengajar kami Fajar Fandi Atmaja, Lc., M.S.I yang mana telah membimbing kami selama materi ini berlangsung dan juga telah mempercayakan tugas ini kepada kami, sehingga kami dapat mengambil pengetahuan dan pembelajarannya.
Makalah ini dirancang dan ditulis sebagai tugas kelompok yang akan diprsentasikan begitu pula  bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan mengetahui Tafsir dan Hadist mengenai hutang piutang. Sehingga mahasiswa/mahasiswi dapat mengambil kesimpulan atas apa yang kami bahas pada makalah ini dan kami pun  berharap semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya bagi mahasiswa maupun mahasiswi jurusan Ekonomi islam











Daftar Pustaka




PENDAHULUAN

           Agama Islam merupakan agama yang sempurna, yang telah mengatur segala urusan manusia yang ada dimuka bumi ini seperti akhlak, aqidah, ibadah begitu pula dengan urusan muamalah. Kegiatan bermuamalah merupakan suatu kegiatan yang setiap hari manusia lakukan  dan juga bermuamalah sebagai salah satu perputaran uang dalam perekonomian. Jadi bermuamalah merupakan hal yang perlu diperhatikan bagi siapapun khususnya bagi kaum muslimin. Dan muamalah juga mengajarakan kepada manusia agar memperoleh rizeki dengan cara halal.
           Dalam bermuamalah terdapat beberapa akad salah satunya yaitu akad jual beli. Didalam akad jual beli kadang kala sering berjumpa dengan hutang piutang. Namun, seseorang melakukan hutang piutang bukan hanya ketika melakukan jual beli tetapi banyak hal yang dilakukan sebagian orang untuk melakukan hutang piutang. Dalam hal ini hutang piutang merupakan suatu hal yang akan menimbulkan perselisihan, jika tidak dilakukan dengan sebaik-baiknya karena hutang piutang sendiri hal yang sensitif, dan dapat melibatkan selain kedua orang yang berhutang dan berpiutang. Maka disini kami memcoba membahas mengenai tafsir ayat dan hadist tentang hutang piutang agar kita semua mengetahui bagaimana hutang piutang dalam pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

1.      Apakah pengertian hutang piutang?
2.      Apa syarat dan rukun hutang piutang?
3.      Bagaimana tafsir ayat hutang piutang?
4.      Bagaimana hadist hutang piutang?






PEMBAHASAN


           Dalam fiqih Islam, hutang piutang atau pinjam meminjam dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah  Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang berhutang disebut AlQardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang memberikan hutang.
           Sedangkan secara terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan kesepakatan.
           Hutang piutang  (القرض أو الدين) adalah suatu transaksi dimana seseorang meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama.

1.      Rukun dalam hutang piutang yaitu:
a)      Orang yang memberi hutang
b)      Orang yang berhutang
c)      Ucapan kesepakatan atau ijab qabul
d)     Barang atau uang yang akan dihutangkan
2.      Syarat yang harus dipenuhi dalam hutang piutang:
a)      Baligh dan berakal
b)      Ijab qabul harus jelas

يَأَ يُّهَا آلَّذِيْنَ ءَامَنُوْاإِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلىَ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِى عَلَيْهِ آلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْأً فَإِنْ كَانَ الَّذِى عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا أَوْ ضَعِيْفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَآسْتَشْهِدُوا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَ جُلٌ وَآمْرَ أَتَانِ مَمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ آلشُّهَدَآءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَىهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىهُمَا آلْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ آلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْئَمُوْآ أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيْرًا أَوْ كَبِيْرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَالِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَدَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْ تَابُوْا إِلَّآ أَنْ تَكُوْنَ تِجَرَةً حَا ضِرَةً تُدِيْرُو نَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوْهَا وَأَشْهِدُوْآ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيْدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوْا فَإِنَّهُ فُسُوْقُ بِكُمْ وَاتَّقُوا آاللهَ وَيُعَلِّمُكُمْ آللهُ وَآللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيْمٌ                                                                                           
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimplakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimplakkan, maka hendaklah walinya mengimplakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jiak mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulit. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

a)      Asbabun Nuzul
        Pada saat Rasulullah SAW datang ke Madinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasanya menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh karena itu Rasulullah bersabda: “ Barang siapa menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu pula”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 282 sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun bermuamalah dalam jangka waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi untuk menjaga jika terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang.

b)     Tafsiran Surat Al-Baqarah: 282
1)      Hendaklah dituliskan segala hutang piutang
يَأَ يُّهَا آلَّذِيْنَ ءَامَنُوْاإِذَاتَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلىَ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِى عَلَيْهِ آلْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْأً
 “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimplakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya...”

           Kata “dain” atau utang terdapat antara dua orang yang hendak berjual beli, karena yang seorang meminta supaya dia tidak membayar dengan tunai, melainkan dengan berutang. Muamalah seperti ini diperoleh syara’ dengan syarat ditangguhkannya pembayaran itu sampai jatuh tempo yang telah ditentukan dan tidak sah menangguhkan pembayaran itu dengan tidak jelas tempo pembayarannya.
           Selanjutnya pada ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang berhutang sendiri hendaklah mengucapkan hutangnya dan tempo pembayarannya dengan cara imlak maka mulailah juru tulis itu menuliskan apa yang telah diimlakkan dengan cara yaitu tidak merusak sedikitpun dari perjanjian dan jumlah utang yang telah dikatakannya.
           Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memelihara muamalah, utang-utangnya, masalah qiradh dan salam yaitu barangnya belakangan tetapi  bayar dimuka. Penjual barang menuliskan sangkutan barang tersebut sesuai waktu yang telah ditentukan. Juru tulis adalah orang adil yang tidak memihak dan hendaknya yang memberi utang mengutarakan maksudnya agar ditulis oleh juru tulis dan tidak menguragi sedikitpun hak orang lain demi kepentingan pribadi.
2)      Jika orang berhutang seorang yang dungu
فَإِنْ كَانَ الَّذِى عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيْهًا أَوْ ضَعِيْفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيْعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ
“...jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur...”

     Kata “سفيه” ialah orang yang dungu atau orang yang bodoh, yang otaknya mengalami gangguan atau seseorang yang boros dan mubazir yang memboroskan uangnya ketempat yang tidak berguna. Orang “ضعيف” ialah orang yang sudah terlalu tua atau anak-anak yang belum baligh. Dalam keadaan itu wali mereka itulah yang bertindak mengimlakkan akad maka apabila tidak ada yaitu dengan cara hukum.

3)      Dua orang sanksi dalam hutang pitang
وَآسْتَشْهِدُوا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُوْنَا رَجُلَيْنِ فَرَ جُلٌ وَآمْرَ أَتَانِ مَمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ آلشُّهَدَآءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَىهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَىهُمَا آلْأُخْرَى
“....jika tak ada dua orang sanksi lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari sanksi –sanksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.....”

     Ayat ini menerangkan, bahwa orang yang hendak mengadakan hutang piutang hendaklah mengharapkan kepada dua orang sanksi laki-laki muslim atau dua orang laki-laki dan dua orang perempuan. Kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian seorang laki-laki menurut malik dan syafi’I. Jika diantaranya terlupa maka dapat diingatkan oleh orang lain yang disyaratkan kepada perempuan karena perempuan itu lebih lemah dibandingkan laki-laki.


4)      Saksi janganlah enggan
وَلَا يَأْبَ آلشُّهَدَآءُ إِذَا مَا دُعُوا
“.....Janganlah sanksi-sanksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.....”

     Sebagian ulama menerangkan, bahwa sanksi-sanksi yang dimaksud disini ialah sanksi-sanksi yang telah menyaksikan hutang piutang itu sejak awal. Jika seseorang diminta akan menyaksikan suatu hal maka janganlah meraka merasa enggan untuk menjadi sanksi. maka apabila sanksi itu diperlukan, terutama dalam permulaan mengikat janji dan membuat surat. Janganlah merasa enggan karena hal tersebut merupakan amalan baik yaitu turut memperlancar perjanjian antara sesama muslim. Dia boleh enggan jika menurut pengetahuannya ada lagi orang lain yang lebih mengetahui dari pada dirinya. Adapun jika suatu hari terjadi kekacauan sedangkan sanksi yang sudah tertulis berhalangan hadir maka hal tersebut merupakan kesalahan dirinya sendiri.

5)      Jangan bosan mencatat
وَلَا تَسْئَمُوْآ أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيْرًا أَوْ كَبِيْرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَالِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَدَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْ تَابُوْا إِلَّآ أَنْ تَكُوْنَ تِجَرَةً حَا ضِرَةً تُدِيْرُو نَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوْهَا وَأَشْهِدُوْآ إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيْدٌ
“......dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalah itu), kecuali jika mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu jual beli...”
     Jangan bosan menuliskan disini maksudnya menuliskan hutang piutang baik yang kecil mau pun yang besar. Ditulis pula jumlah dan tempo pembayarannya. Itulah yang lebih adil karena jika terjadinya perselisihan maka kesaksian yang tertulis itu yang dapat membantu menjelskan kebenaran.
     Ayat ini merupakan dalil yang menunjukan bahwa tulisan merupakan bukti yang dapat diterima apabila sudah memenuhi syarat dan penulisan ini wajib untuk segala urusan baik kecil maupun besar.

6)      Juru tulis janganlah merugikan
وَلَا يُضَآرَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيْدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوْا فَإِنَّهُ فُسُوْقُ بِكُمْ وَاتَّقُوا آاللهَ وَيُعَلِّمُكُمْ آللهُ وَآللهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيْمٌ
“...beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulit. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.

     Kata “ولا يضآر” dapat diartikan dengan dua makna yaitu, janganlah memberi mudarat dan jangan menanggung mudarat. Menurut arti yang pertama, juru tulis atau saksi janganlah berlaku curang dalam menuliskan atau menyaksikannya baik terhadap orang yang berhutang maupun terhadap orang yang berpiutang.

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkatan orang-orang yang mengatakan: “Sesunguhnya Allah miskin dan Kami kaya”. Kami akan mencatat Perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): “Rasakanlah olehmu azab yang membakar”.

a)      Asbabun Nuzul
                Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di dalam Kitab Shahih-nya, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Marduwaih, yang bersumber dari Ibnu ‘Umar. Bahwa ketika turun ayat, matsalul ladziina yungfiquuna amwaalahum fi sabiilillaahi ka matsali habbah…(perumpamaan [nafkah yang dikeluarkan oleh] orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih..) sampai akhir ayat (al-Baqarah: 261), berdoalah Rasulullah saw.: “Ya Rabb. Semoga Engkau melipatgandakan untuk umatku.” Maka turunlah ayat tersebut di atas (al-Baqarah: 245) yang menjanjikan akan melipatgandakan tanpa batas.

b)     Tafsiran Surat Al-Baqarah: 245
              Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah: 245, Ibn Katsir (1/664) mengatakan bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT memotivasi hamba-hamba-Nya untuk berinfak di jalan-Nya. Ibn al-‘Arabi dalam tafsirnya yang terkenal dibidang hukum yaitu, Ahkam Al-Quran  (1:307) mengatakan orang-orang ketika mendengar ayat QS. Al-Baqarah: 245 terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1)      Kelompok pertama, yang menolak atau menghina. Mereka mengatakan bahwa Tuhan dan Muhammad fakir Ia membutuhkan kita. Allah swt. membalas mereka dengan firman-Nya yang termaktub dalam QS. Ali Imran:181
2)      Kelompok kedua, mendahulukan kebakhilan, tidak mau berinfak di jalan Allah, tidak mau menolong orang lain.
3)      Kelompok ketiga, ketika mendengar ayat ini langsung cepat bertindak memenuhi perintah-Nya, yang pertama dari mereka adalah Abu ad-Dahda yang langsung menginfakkan tanahnya.

              Imam Al-Qurtubi (al-Jami’ li Ahkam al-Qura, 3:240) dalam menafsirkan ayat tersebut beliau mengatakan panggilan qardh (pinjaman) dalam ayat ini adalah untuk pendekatan kepada orang-orang dengan apa yang mereka pahami yaitu Allah SWT, maha kaya lagi terpuji. Ia menyamakan pemberian orang mumin di dunia dengan apa yang ia harapkan balasannya di akherat, sebagaimana ia menyamakan memberikan jiwa dan harta untuk mengambil surga dengan jual beli

a)      Mati dalam keadaan masih membawa hutang, kebaikannya sebagai gantinya
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam bersabda: “Barang siapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (dihari kiamat nanti) karena disana (diakhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham”(HR. Ibnu Majah)

Itulah keadaan orang yang sudah meninggal dalam keadaan masih membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika kiamat karena disana tidak ada lagi dinar dan dirham atau alatpembayaran untuk melunasi  hutang tersebut selain amal kebaikan yang dimiliki oleh manusia itu sendiri.

b)     Masih ada hutang, enggan di sholati
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami duduk di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa salam., lalu didatangkanlah satu jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab,”Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “ Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka  (para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa salam menyolati jenazah tersebut. kemudian didatangkanlah jenazah yang lainnya. Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasullullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.” Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para sahabat) menjawab, “ Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau menshalati jenazah tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat berkata,”Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata, “Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku yang menaggung hutangnya.” Kemudian beliau pun menyalatinya.” (HR. Bukhari)

اَلَّلهُمَّ إِنِّي أّعُوْذُبِكَ مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ، وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan orang”






PENUTUP


           Pengertian hutang piutang dalam fiqih Islam, hutang piutang dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna Al-Qardh secara etimologi ialah  Al-Qath’u yang berarti memotong. Sedangkan secara terminologis makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan kesepakatan. Hutang piutang adalah suatu transaksi dimana seseorang meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama.
            Adapun Rukun dari hutang piutang yaitu orang yang memberi hutang, orang yang berhutang, ucapan kesepakatan atau ijab qabul dan barang atau uang yang akan dihutangkan. Dan syarat dalam hutang piutang yaitu baligh dan berakal dan ijab qabul harus jelas. Adapun ayat Al-Qur’an yang membahasa mengenai hutang piutang yaitu surat Al-Baqarah ayat 282 dan surat Al-Baqarah ayat 245


         Dalam makalah ini mungkin sangat banyak sekali kesalahan-kesalahan dari segi penulisan ataupun hal yang lainnya. Dengan demikian saya sebagai penulis mohon maaf dan juga saya mengharapkan kritik dan saran atas tulisan saya agar bisa membangun dan memotivasi saya agar membuat tulisan yang jauh lebih baik lagi.







            Karim, Adiwarman A. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq. 2004
            http://hutangpiutang23.blogspot.co.id/
            https://suriyantinasutionumy.wordpress.com/2013/04/24/tafsir-qs-al-baqarah-282-utang-piutang/