MAKALAH TAFSIR DAN HADIST EKONOMI
TAFSIR DAN HADIST HUTANG PIUTANG
Dosen : Fajar Fandi Atmaja, Lc., M.S.I
Disusun Oleh:
Nur Aufa Amalina (13423140)
Mau’izhotul Hasanah (13423114)
Dita Alisha Putri (13423127)
Siti Rohmah Rigawati (13423123)
Program Studi Ekonomi Islam
Fakultas Ilmu Agama Islam
Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta
2015
Puji syukur
saya panjatkan kepada Allah SWT Yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, atas nikmat dan karunianya yang telah
diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Tafsir dan
Hadist dalam Ekonomi yang berjudul Tafsir dan Hadist tentang Hutang Piutang.
Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada suri tauladan bagi umat
manusia yakni nabi Muhamad SWT yang mana
sesosok manusia sempurna yang telah memperjuangkan agama Islam sehingga sampai
sejaya ini. Dan tak lupa saya berterima kasih kepada dosen pengajar kami Fajar
Fandi Atmaja, Lc., M.S.I yang mana telah membimbing kami selama materi ini
berlangsung dan juga telah mempercayakan tugas ini kepada kami, sehingga kami
dapat mengambil pengetahuan dan pembelajarannya.
Makalah ini dirancang dan ditulis
sebagai tugas kelompok yang akan diprsentasikan begitu pula bertujuan agar mahasiswa dapat memahami dan
mengetahui Tafsir dan Hadist mengenai hutang piutang. Sehingga
mahasiswa/mahasiswi dapat mengambil kesimpulan atas apa yang kami bahas pada
makalah ini dan kami pun berharap semoga
makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya bagi mahasiswa maupun
mahasiswi jurusan Ekonomi islam
Daftar Pustaka
PENDAHULUAN
Agama Islam
merupakan agama yang sempurna, yang telah mengatur segala urusan manusia yang
ada dimuka bumi ini seperti akhlak, aqidah, ibadah begitu pula dengan urusan
muamalah. Kegiatan bermuamalah merupakan suatu kegiatan yang setiap hari manusia
lakukan dan juga bermuamalah sebagai
salah satu perputaran uang dalam perekonomian. Jadi bermuamalah merupakan hal
yang perlu diperhatikan bagi siapapun khususnya bagi kaum muslimin. Dan
muamalah juga mengajarakan kepada manusia agar memperoleh rizeki dengan cara
halal.
Dalam bermuamalah
terdapat beberapa akad salah satunya yaitu akad jual beli. Didalam akad jual
beli kadang kala sering berjumpa dengan hutang piutang. Namun, seseorang
melakukan hutang piutang bukan hanya ketika melakukan jual beli tetapi banyak
hal yang dilakukan sebagian orang untuk melakukan hutang piutang. Dalam hal ini
hutang piutang merupakan suatu hal yang akan menimbulkan perselisihan, jika
tidak dilakukan dengan sebaik-baiknya karena hutang piutang sendiri hal yang
sensitif, dan dapat melibatkan selain kedua orang yang berhutang dan
berpiutang. Maka disini kami memcoba membahas mengenai tafsir ayat dan hadist
tentang hutang piutang agar kita semua mengetahui bagaimana hutang piutang
dalam pandangan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
1.
Apakah
pengertian hutang piutang?
2.
Apa
syarat dan rukun hutang piutang?
3.
Bagaimana
tafsir ayat hutang piutang?
4.
Bagaimana
hadist hutang piutang?
PEMBAHASAN
Dalam fiqih Islam,
hutang piutang atau pinjam meminjam dikenal dengan istilah Al-Qardh. Makna
Al-Qardh secara etimologi (bahasa) ialah
Al-Qath’u yang berarti memotong. Harta yang diserahkan kepada orang yang
berhutang disebut AlQardh, karena merupakan potongan dari harta orang yang
memberikan hutang.
Sedangkan secara
terminologis (istilah syar’i), makna Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang)
sebagai bentuk kasih sayang kepada siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia
akan mengembalikannya (pada suatu saat) sesuai dengan kesepakatan.
Hutang piutang (القرض أو الدين)
adalah suatu transaksi dimana seseorang meminjam harta benda kepada orang lain
dengan janji akan dikembalikan pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah
yang sama.
1.
Rukun
dalam hutang piutang yaitu:
a)
Orang
yang memberi hutang
b)
Orang
yang berhutang
c)
Ucapan
kesepakatan atau ijab qabul
d)
Barang
atau uang yang akan dihutangkan
2.
Syarat
yang harus dipenuhi dalam hutang piutang:
a)
Baligh
dan berakal
b)
Ijab
qabul harus jelas
يَأَ
يُّهَا
آلَّذِيْنَ
ءَامَنُوْاإِذَاتَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ
إِلىَ أَجَلٍ
مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ
كَاتِبٌ
بِالْعَدْلِ
وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ
اللهُ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ
الَّذِى
عَلَيْهِ
آلْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ
اللهَ رَبَّهُ
وَلَا يَبْخَسْ
مِنْهُ
شَيْأً
فَإِنْ
كَانَ الَّذِى
عَلَيْهِ
الْحَقُّ
سَفِيْهًا
أَوْ ضَعِيْفًا
أَوْ لَا
يَسْتَطِيْعُ
أَنْ يُمِلَّ
هُوَ فَلْيُمْلِلْ
وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ
وَآسْتَشْهِدُوا
شَهِيْدَيْنِ
مِنْ رِّجَالِكُمْ
فَإِنْ
لَمْ يَكُوْنَا
رَجُلَيْنِ
فَرَ جُلٌ
وَآمْرَ
أَتَانِ
مَمَّنْ
تَرْضَوْنَ
مِنَ آلشُّهَدَآءِ
أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَىهُمَا
فَتُذَكِّرَ
إِحْدَىهُمَا
آلْأُخْرَى
وَلَا يَأْبَ
آلشُّهَدَآءُ
إِذَا مَا
دُعُوا
وَلَا تَسْئَمُوْآ
أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيْرًا
أَوْ كَبِيْرًا
إِلَى أَجَلِهِ
ذَالِكُمْ
أَقْسَطُ
عِنْدَ
اللهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَدَةِ
وَأَدْنَى
أَلَّا
تَرْ تَابُوْا
إِلَّآ
أَنْ تَكُوْنَ
تِجَرَةً
حَا ضِرَةً
تُدِيْرُو
نَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ
أَلَّا
تَكْتُبُوْهَا
وَأَشْهِدُوْآ
إِذَا تَبَايَعْتُمْ
وَلَا يُضَآرَّ
كَاتِبٌ
وَلَا شَهِيْدٌ
وَإِنْ
تَفْعَلُوْا
فَإِنَّهُ
فُسُوْقُ
بِكُمْ
وَاتَّقُوا
آاللهَ
وَيُعَلِّمُكُمْ
آللهُ وَآللهُ
بِكُلِّ
شَىْءٍ
عَلِيْمٌ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan
benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimplakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari pada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu mengimplakkan, maka hendaklah walinya mengimplakkan
dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki
(di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan
dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa
maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil, dan janganlah kamu jemu menulis hutang
itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu,
lebih adil disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada
tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu’amalahmu itu), kecuali jiak
mu’amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak
ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila
kamu berjual beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulit. Jika
kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan
pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu”.
a)
Asbabun Nuzul
Pada saat Rasulullah
SAW datang ke Madinah pertama kali, orang-orang penduduk asli biasanya
menyewakan kebunnya dalam waktu satu, dua atau tiga tahun. Oleh karena itu
Rasulullah bersabda: “ Barang siapa menyewakan (mengutangkan) sesuatu hendaklah
dengan timbangan atau ukuran yang tertentu dan dalam jangka waktu yang tertentu
pula”. Sehubungan dengan itu Allah SWT menurunkan Surat Al-Baqarah ayat 282
sebagai perintah apabila mereka utang piutang maupun bermuamalah dalam jangka
waktu tertentu hendaklah ditulis perjanjian dan mendatangkan saksi untuk
menjaga jika terjadinya sengketa pada waktu-waktu yang akan datang.
b)
Tafsiran Surat Al-Baqarah: 282
1)
Hendaklah dituliskan segala hutang piutang
يَأَ
يُّهَا
آلَّذِيْنَ
ءَامَنُوْاإِذَاتَدَايَنْتُمْ
بِدَيْنٍ
إِلىَ أَجَلٍ
مُّسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ
وَلْيَكْتُبْ
بَيْنَكُمْ
كَاتِبٌ
بِالْعَدْلِ
وَلَا يَأْبَ
كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ
كَمَا عَلَّمَهُ
اللهُ فَلْيَكْتُبْ
وَلْيُمْلِلِ
الَّذِى
عَلَيْهِ
آلْحَقُّ
وَلْيَتَّقِ
اللهَ رَبَّهُ
وَلَا يَبْخَسْ
مِنْهُ
شَيْأً
“Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menulisnya. Dan hendaklah seorang penulis di antara
kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya
sebagaimana Allah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah
orang yang berhutang itu mengimplakkan (apa yang akan ditulis itu), dan
hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi
sedikitpun dari pada hutangnya...”
Kata “dain” atau
utang terdapat antara dua orang yang hendak berjual beli, karena yang seorang
meminta supaya dia tidak membayar dengan tunai,
melainkan dengan berutang. Muamalah seperti ini diperoleh syara’ dengan syarat
ditangguhkannya pembayaran itu sampai jatuh tempo yang telah ditentukan dan
tidak sah menangguhkan pembayaran itu dengan tidak jelas tempo pembayarannya.
Selanjutnya pada
ayat diatas menjelaskan bahwa orang yang berhutang sendiri hendaklah
mengucapkan hutangnya dan tempo pembayarannya dengan cara imlak maka mulailah
juru tulis itu menuliskan apa yang telah diimlakkan dengan cara yaitu tidak
merusak sedikitpun dari perjanjian dan jumlah utang yang telah dikatakannya.
Allah SWT
memerintahkan kepada kaum Muslimin agar memelihara muamalah, utang-utangnya,
masalah qiradh dan salam yaitu barangnya belakangan tetapi bayar dimuka. Penjual barang menuliskan
sangkutan barang tersebut sesuai waktu yang telah ditentukan. Juru tulis adalah
orang adil yang tidak memihak dan hendaknya yang memberi utang mengutarakan
maksudnya agar ditulis oleh juru tulis dan tidak menguragi sedikitpun hak orang
lain demi kepentingan pribadi.
2)
Jika orang berhutang seorang yang dungu
فَإِنْ
كَانَ الَّذِى
عَلَيْهِ
الْحَقُّ
سَفِيْهًا
أَوْ ضَعِيْفًا
أَوْ لَا
يَسْتَطِيْعُ
أَنْ يُمِلَّ
هُوَ فَلْيُمْلِلْ
وَلِيُّهُ
بِالْعَدْلِ
“...jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah
(keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya
mengimlakkan dengan jujur...”
Kata “سفيه” ialah orang yang dungu atau orang yang bodoh, yang otaknya
mengalami gangguan atau seseorang yang boros dan mubazir yang memboroskan
uangnya ketempat yang tidak berguna. Orang “ضعيف” ialah orang yang sudah terlalu tua atau anak-anak yang belum
baligh. Dalam keadaan itu wali mereka itulah yang bertindak mengimlakkan akad
maka apabila tidak ada yaitu dengan cara hukum.
3)
Dua orang sanksi dalam hutang pitang
وَآسْتَشْهِدُوا
شَهِيْدَيْنِ
مِنْ رِّجَالِكُمْ
فَإِنْ
لَمْ يَكُوْنَا
رَجُلَيْنِ
فَرَ جُلٌ
وَآمْرَ
أَتَانِ
مَمَّنْ
تَرْضَوْنَ
مِنَ آلشُّهَدَآءِ
أَنْ تَضِلَّ
إِحْدَىهُمَا
فَتُذَكِّرَ
إِحْدَىهُمَا
آلْأُخْرَى
“....jika tak ada dua orang sanksi lelaki, maka (boleh) seorang
lelaki dan dua orang perempuan dari sanksi –sanksi yang kamu ridhai, supaya
jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.....”
Ayat ini menerangkan,
bahwa orang yang hendak mengadakan hutang piutang hendaklah mengharapkan kepada
dua orang sanksi laki-laki muslim atau dua orang laki-laki dan dua orang
perempuan. Kesaksian dua orang perempuan sama dengan kesaksian seorang
laki-laki menurut malik dan syafi’I. Jika diantaranya terlupa maka dapat
diingatkan oleh orang lain yang disyaratkan kepada perempuan karena perempuan
itu lebih lemah dibandingkan laki-laki.
4)
Saksi janganlah enggan
وَلَا
يَأْبَ
آلشُّهَدَآءُ
إِذَا مَا
دُعُوا
“.....Janganlah sanksi-sanksi itu enggan (memberi keterangan)
apabila mereka dipanggil.....”
Sebagian ulama
menerangkan, bahwa sanksi-sanksi yang dimaksud disini ialah sanksi-sanksi yang
telah menyaksikan hutang piutang itu sejak awal. Jika seseorang diminta akan
menyaksikan suatu hal maka janganlah meraka merasa enggan untuk menjadi sanksi.
maka apabila sanksi itu diperlukan, terutama dalam permulaan mengikat janji dan
membuat surat. Janganlah merasa enggan karena hal tersebut merupakan amalan
baik yaitu turut memperlancar perjanjian antara sesama muslim. Dia boleh enggan
jika menurut pengetahuannya ada lagi orang lain yang lebih mengetahui dari pada
dirinya. Adapun jika suatu hari terjadi kekacauan sedangkan sanksi yang sudah
tertulis berhalangan hadir maka hal tersebut merupakan kesalahan dirinya
sendiri.
5)
Jangan bosan mencatat
وَلَا
تَسْئَمُوْآ
أَنْ تَكْتُبُوهُ
صَغِيْرًا
أَوْ كَبِيْرًا
إِلَى أَجَلِهِ
ذَالِكُمْ
أَقْسَطُ
عِنْدَ
اللهِ وَأَقْوَمُ
لِلشَّهَدَةِ
وَأَدْنَى
أَلَّا
تَرْ تَابُوْا
إِلَّآ
أَنْ تَكُوْنَ
تِجَرَةً
حَا ضِرَةً
تُدِيْرُو
نَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ
جُنَاحٌ
أَلَّا
تَكْتُبُوْهَا
وَأَشْهِدُوْآ
إِذَا تَبَايَعْتُمْ
وَلَا يُضَآرَّ
كَاتِبٌ
وَلَا شَهِيْدٌ
“......dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil
disisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalah itu), kecuali jika mu’amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya dan persaksikanlah apabila kamu jual
beli...”
Jangan bosan menuliskan
disini maksudnya menuliskan hutang piutang baik yang kecil mau pun yang besar.
Ditulis pula jumlah dan tempo pembayarannya. Itulah yang lebih adil karena jika
terjadinya perselisihan maka kesaksian yang tertulis itu yang dapat membantu
menjelskan kebenaran.
Ayat ini merupakan dalil
yang menunjukan bahwa tulisan merupakan bukti yang dapat diterima apabila sudah
memenuhi syarat dan penulisan ini wajib untuk segala urusan baik kecil maupun
besar.
6)
Juru tulis janganlah merugikan
وَلَا
يُضَآرَّ
كَاتِبٌ
وَلَا شَهِيْدٌ
وَإِنْ
تَفْعَلُوْا
فَإِنَّهُ
فُسُوْقُ
بِكُمْ
وَاتَّقُوا
آاللهَ
وَيُعَلِّمُكُمْ
آللهُ وَآللهُ
بِكُلِّ
شَىْءٍ
عَلِيْمٌ
“...beli dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulit.
Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu
kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu”.
Kata “ولا يضآر” dapat diartikan dengan dua makna yaitu, janganlah memberi
mudarat dan jangan menanggung mudarat. Menurut arti yang pertama, juru tulis
atau saksi janganlah berlaku curang dalam menuliskan atau menyaksikannya baik
terhadap orang yang berhutang maupun terhadap orang yang berpiutang.
Sesungguhnya Allah telah mendengar
perkatan orang-orang yang mengatakan: “Sesunguhnya Allah miskin dan Kami kaya”.
Kami akan mencatat Perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh nabi-nabi
tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka): “Rasakanlah
olehmu azab yang membakar”.
a)
Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban di
dalam Kitab Shahih-nya, Ibnu Abi Hatim, dan Ibnu Marduwaih, yang bersumber dari
Ibnu ‘Umar. Bahwa ketika turun ayat, matsalul ladziina yungfiquuna amwaalahum
fi sabiilillaahi ka matsali habbah…(perumpamaan [nafkah yang dikeluarkan oleh]
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih..) sampai akhir ayat (al-Baqarah: 261), berdoalah Rasulullah
saw.: “Ya Rabb. Semoga Engkau melipatgandakan untuk umatku.” Maka turunlah ayat
tersebut di atas (al-Baqarah: 245) yang menjanjikan akan melipatgandakan tanpa
batas.
b)
Tafsiran Surat Al-Baqarah: 245
Dalam menafsirkan QS. al-Baqarah:
245, Ibn Katsir (1/664) mengatakan bahwa dalam ayat tersebut Allah SWT
memotivasi hamba-hamba-Nya untuk berinfak di jalan-Nya. Ibn al-‘Arabi dalam
tafsirnya yang terkenal dibidang hukum yaitu, Ahkam Al-Quran (1:307) mengatakan orang-orang ketika
mendengar ayat QS. Al-Baqarah: 245 terbagi menjadi tiga kelompok yaitu:
1)
Kelompok pertama, yang menolak atau menghina. Mereka mengatakan
bahwa Tuhan dan Muhammad fakir Ia membutuhkan kita. Allah swt. membalas mereka
dengan firman-Nya yang termaktub dalam QS. Ali Imran:181
2)
Kelompok kedua, mendahulukan kebakhilan, tidak mau berinfak di jalan
Allah, tidak mau menolong orang lain.
3)
Kelompok ketiga, ketika mendengar ayat ini langsung cepat
bertindak memenuhi perintah-Nya, yang pertama dari mereka adalah Abu ad-Dahda
yang langsung menginfakkan tanahnya.
Imam Al-Qurtubi (al-Jami’ li Ahkam
al-Qura, 3:240) dalam menafsirkan ayat tersebut beliau mengatakan panggilan
qardh (pinjaman) dalam ayat ini adalah untuk pendekatan kepada orang-orang
dengan apa yang mereka pahami yaitu Allah SWT, maha kaya lagi terpuji. Ia
menyamakan pemberian orang mumin di dunia dengan apa yang ia harapkan
balasannya di akherat, sebagaimana ia menyamakan memberikan jiwa dan harta
untuk mengambil surga dengan jual beli
a)
Mati dalam keadaan masih membawa hutang, kebaikannya sebagai
gantinya
Dari Ibnu ‘Umar, Rasulullah shallallahu’alaihi wa salam bersabda:
“Barang siapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau
satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (dihari
kiamat nanti) karena disana (diakhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham”(HR.
Ibnu Majah)
Itulah keadaan orang yang sudah meninggal dalam keadaan masih
membawa hutang dan belum juga dilunasi, maka untuk membayarnya akan diambil
dari pahala kebaikannya. Itulah yang terjadi ketika kiamat karena disana tidak
ada lagi dinar dan dirham atau alatpembayaran untuk melunasi hutang tersebut selain amal kebaikan yang
dimiliki oleh manusia itu sendiri.
b)
Masih ada hutang, enggan di sholati
Dari Salamah bin Al Akwa’ radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata: Kami
duduk di sisi Nabi shallallahu’alaihi wa salam., lalu didatangkanlah satu
jenazah. Lalu beliau bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para
sahabat) menjawab,”Tidak ada.” Lalu beliau mengatakan, “ Apakah dia
meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka
(para sahabat) menjawab, “Tidak.” Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa
salam menyolati jenazah tersebut. kemudian didatangkanlah jenazah yang lainnya.
Lalu para sahabat berkata, “Wahai Rasullullah shalatkanlah dia!” Lalu beliau
bertanya, “Apakah dia memiliki hutang?” Mereka (para sahabat) menjawab, “Iya.”
Lalu beliau mengatakan, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?” Lantas mereka (para
sahabat) menjawab, “ Ada, sebanyak 3 dinar.” Lalu beliau menshalati jenazah
tersebut. Kemudian didatangkan lagi jenazah ketiga, lalu para sahabat
berkata,”Shalatkanlah dia!” Beliau bertanya, “Apakah dia meninggalkan sesuatu?”
mereka (para sahabat) menjawab, “Tidak ada.” Lalu beliau bertanya, “Apakah dia
memiliki hutang?” Mereka menjawab, “Ada tiga dinar.” Beliau berkata,
“Shalatkanlah sahabat kalian ini.” Lantas Abu Qotadah berkata, “Wahai
Rasulullah, shalatkanlah dia. Biar aku yang menaggung hutangnya.” Kemudian
beliau pun menyalatinya.” (HR. Bukhari)
اَلَّلهُمَّ إِنِّي أّعُوْذُبِكَ
مِنَ الْهَمِّ وَالْحُزْنِ، وَالْعَجْزِ وَالْكَسَلِ، وَالْبُخْلِ وَالْجُبْنِ،
وَضَلَعِ الدَّيْنِ وَغَلَبَةِ الرِّجَالِ
“Ya Allah!
Sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari (hal yang) menyedihkan dan
menyusahkan, lemah dan malas, bakhil dan penakut, lilitan hutang dan penindasan
orang”
PENUTUP
Pengertian hutang
piutang dalam fiqih Islam, hutang piutang dikenal dengan istilah Al-Qardh.
Makna Al-Qardh secara etimologi ialah
Al-Qath’u yang berarti memotong. Sedangkan secara terminologis makna
Al-Qardh ialah menyerahkan harta (uang) sebagai bentuk kasih sayang kepada
siapa saja yang akan memanfaatkannya dan dia akan mengembalikannya (pada suatu
saat) sesuai dengan kesepakatan. Hutang piutang adalah suatu transaksi dimana
seseorang meminjam harta benda kepada orang lain dengan janji akan dikembalikan
pada waktu yang telah ditentukan dengan jumlah yang sama.
Adapun Rukun dari hutang piutang
yaitu orang yang memberi hutang, orang yang berhutang, ucapan kesepakatan atau
ijab qabul dan barang atau uang yang akan dihutangkan. Dan syarat dalam hutang
piutang yaitu baligh dan berakal dan ijab qabul harus jelas. Adapun ayat
Al-Qur’an yang membahasa mengenai hutang piutang yaitu surat Al-Baqarah ayat
282 dan surat Al-Baqarah ayat 245
Dengan disusunnya makalah
ini, dari penulis berharap agar para pembaca khususnya mahasiswa dapat mengetahui dan memahami mengenai kemampuan nasabah
khususnya untuk perbankan dalam pmemberikan
pembiayaan karena dalam perbankan harus bisa selektif dalam memilih
nasabah yang akan diberi pembiayaan.
Dalam makalah ini mungkin sangat banyak
sekali kesalahan-kesalahan dari segi penulisan ataupun hal yang lainnya. Dengan
demikian saya sebagai penulis mohon maaf dan juga saya mengharapkan kritik dan
saran atas tulisan saya agar bisa membangun dan memotivasi saya agar membuat
tulisan yang jauh lebih baik lagi.
Karim, Adiwarman
A. Fikih Ekonomi Keuangan Islam. Jakarta: Darul Haq. 2004
http://hutangpiutang23.blogspot.co.id/
https://suriyantinasutionumy.wordpress.com/2013/04/24/tafsir-qs-al-baqarah-282-utang-piutang/